It’s funny. No matter where you go, or how many books you read, you still know nothing, you haven’t seen anything. And that’s life. We live our lives trying to find our way.
Satoru, Pamannya Takako

- Judul: Days at The Morisaki Bookshop
- Penulis: Satoshi Yasigawa
- Translator: Eric Ozawa
- Tahun: 2023
- Genre: Fiksi, Contemporary
- Halaman: 159 (151 malah karena sisanya catatan dari Translator)
- Penerbit: Manilla Press
- Baca di: Google Playbook (versi terjemahan Bahasa Inggris)
- Review Buku: ★★★★★
Wishlist Yang Kesampaian
Sebenarnya Days at the Morisaki Bookshop sudah lama jadi wishlist bacaanku sejak tahun lalu. Tapi, belum kepikiran untuk beli. Walaupun sudah tertarik dengan tema besar bukunya yang sudah jelas mengusung perjalanan si tokoh untuk healing dari sinopsisnya.
Alasannya se-random karena belakangan sering melihat (dan membaca) buku dengan judul yang temanya serupa—ada Midnight Library, The Bookseller at The End of The World, What You Are Looking For Is In The Library, The Hyunam-dong Bookshop dan Door to Door Bookstore (dua judul terakhir belum pernah aku baca), jadi aku memutuskan mau baca buku dengan judul yang tidak ada hubungannya dengan toko buku, penjual buku atau perpustakaan.
Sampai suatu hari aku lagi iseng mencari buku bacaan baru di Google Playstore dan buku ini sedang diskon jadi tanpa pikir panjang langsung aku beli dan aku coba baca satu dua lembar dulu. Tidak disangka, terjemahan bahasa Inggrisnya mudah dicerna dan alurnya cepat. Tiba-tiba buku ini selesai dalam satu hari.
Cerita Singkat Days at the Morisaki Bookshop
Tentang Takako, yang tiba-tiba mendapat kabar kalau pacarnya (yang juga satu kantor dengannya) akan menikah, bukan dengan dirinya melainkan dengan rekan kerjanya—dia tidak sadar kalau selama ini dia lah si selingkuhan itu.
Bingung, marah, malu, patah hati, semua campur aduk. Tapi, life must go on. Jadi Takako berusaha tetap menjalani harinya sambil memproses bagaimana dia harus bereaksi terhadap pengakuan pacarnya yang menganggap enteng hubungan mereka.
Sayangnya, tubuhnya berkata lain, ia berkabung berminggu-minggu hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya. Namun, setelah berhenti ia malah terjebak di rutinitas baru, yaitu tidur.
Suatu hari pamannya menelpon untuk mengajaknya tinggal di lantai dua toko buku bekas Morisaki di Jimbocho (bisnis keluarga turun menurunnya keluarga mereka) sambil membantu menjaga toko. Daripada pulang ke rumah—apalagi setelah melewati banyak tantangan untuk bisa kerja di Tokyo, dan tidak punya pemasukkan untuk terus bayar sewa, akhirnya Takako setuju untuk pindah.
Sampai di Jimbocho semua tidak sesuai harapannya. Kamar yang tidak terlihat ‘hidup’, buku ada dimana-mana, perasaan kosong yan mengikutinya. Ditambah sebenarnya Takako merasa asing dengan pamannya, meskipun sewaktu kecil mereka sempat akrab, saat beranjak dewasa dia merasa pamannya orang aneh dan entah bagaimana bisa dia bertahan di Morisaki.
Di awal tinggal di Morisaki, hidup Takako seperti tak bernyawa dan tidak ada yang lain yang paling dinanti selain tidur. Pamannya sampai harus bertaruh agar bisa membawanya keluar.
Setelah kunjungannya ke kedai kopi, dia akhirnya menyentuh buku pertama yang membuatnya jatuh cinta pada membaca. Dari sana, hari-harinya mulai membaik, dia menjaga toko dengan lebih riang, menjalin pertemanan baru dan mulai akrab lagi dengan pamannya.
Mengira dirinya perlahan sudah sembuh, sang mantan kembali menghubunginya untuk bertemu. Takako kembali dihantui masa lalunya. Namun, berkat pamannya, dia berhasil melawan ketakutannya dan mendapat closure.
Selesai dengan isu dirinya, kali ini Takako berutang membantu pamannya, karena istrinya yang sudah lima tahun menghilang tanpa kabar tiba-tiba muncul di depan toko buku seolah baru pergi ke pasar.
Lalu, cerita buku dilanjutkan ke bagian dua, dimana berfokus pada penyelsaian konflik hidup pamannya Takako—Satoru dan Momoko. Diselingi kisah romansa slow paced Takako.
I don’t think so. It’s important to stand still sometimes. Think of it as a little rest in the long journey of your life. This is your harbor. And your boat is just dropping anchor here for a little while. And after you’re well rested, you can set sail again.
Lagi-lagi, mengutip Satoru, Pamannya Takako
Bagian Favorit
Pembukaan cerita yang langsung to the point, ditambah alur yang cepat, dan latar cerita yang berpusat di Jimbocho, pusatnya buku bekas adalah daya tarik buku ini. Aku jadi ketagihan untuk terus membalik ke halaman berikutnya karena penasaran ingin tahu nasibnya Takako.
Di sisi lain, beberapa momen cerita jadi terasa melompat dan anti-klimaks. Salah satunya, ketika kita sampai di adegan penyelsaian konflik utama Takako, berhadapan dengan mantannya untuk mendapat closure-nya. Cara dia meluapkan kemarahan dan penutup masalahnya kurang terasa memuaskan.
Iya sih yang penting Takako lega dan itu maunya, si mantan juga jadi gagal menikah karena calon istrinya jadi tahu kebenarannya. Takako juga sempat bertemu dengan istrinya untuk saling klarifikasi. Tapi, sebagai pembaca kayak kurang greget dan terlalu cepat gitu (Kaget juga, karena begitu bagian ini selesai, kita harus pindah ke bagian cerita dua yang ternyata berubah jadi berfokus ke kehidupan si pamannya).
Meskipun, begitu aku tetap menikmati cerita karena gaya penulisan yang sederhana dan penokohan Takako yang banyak mengingatkan dengan diri sendiri. Kamu mungkin akan gregetan karena Takako tipe yang butuh waktu untuk memproses setiap kejadian, merespon hal-hal di sekitarnya dan kadang kayak terjebak sama isi pikirannya sendiri. Mungkin itu juga yang jadi daya tarik buku ini.
Aku seringkali tertawa saat membaca ceritanya karena lucu saja saat bertemu tokoh yang punya kemiripan, lalu tokoh-tokoh di cerita seperti Satoru (pamannya Takako), Momoko, dan Sabu (pelanggan toko buku mereka) yang mengomentari Takako jadi terasa seperti ikut mengomentarimu.
Kesimpulan
Days at the Morisaki Bookshop, mengusung tema yang pasti pernah dialami siapapun. Patah hati, dunia serasa terhenti dan perjalanan yang harus kita lewati untuk menatanya kembali (kecuali bagian bisa healing dengan tinggal di toko buku bekas warisan keluarga ya 😞).
Gaya bercerita di buku ini memang sangat sederhana dengan alur yang cepat (dan mungkin terasa agak melompat-lompat), namun tetap bisa jadi pilihan untuk kamu yang ingin bacaan yang ringan, hangat, dan menyemangati.
A truly heartwarming and page-turner story!
Leave a Reply